Anggaran Subsidi Energi Tahun 2026 yang Diumumkan Pemerintah
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah mengungkapkan rencana alokasi anggaran subsidi sebesar Rp 307,9 triliun untuk tahun 2026. Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Luky Alfirman, dalam rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI yang membahas Kebijakan Belanja Pemerintah Pusat Tahun 2026 pada Senin (15/7). Anggaran tersebut mencakup subsidi energi dan non-energi.
Secara detail, subsidi non-energi dialokasikan sebesar Rp 104,5 triliun. Sementara itu, subsidi energi mencapai Rp 203,4 triliun, angka yang sama dengan pagu subsidi energi tahun 2025. Rincian subsidi energi tahun 2025 mencakup berbagai komponen seperti subsidi BBM sebesar Rp 26,7 triliun, subsidi LPG 3 kg sebesar Rp 87 triliun, dan subsidi listrik sebesar Rp 89,7 triliun.
Namun, keputusan Indonesia untuk mengimpor komoditas energi dari Amerika Serikat (AS) dalam bentuk minyak mentah (crude oil), Liquefied Petroleum Gas (LPG), dan Bahan Bakar Minyak (BBM) dinilai akan meningkatkan beban subsidi pada 2026.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai bahwa dengan tren impor dari AS dan penyesuaian tarif, alokasi subsidi energi saat ini akan sulit mencukupi kebutuhan tahun depan. Ia menyatakan bahwa subsidi energi 2026 yang dirancang sekitar Rp 200 triliun kemungkinan tidak akan cukup. Jika skema tarif 19% serta hasil negosiasi dengan Presiden Trump diterapkan, kebutuhan subsidi energi bisa melonjak hingga Rp 300 triliun.
Penurunan tarif dari 32% menjadi 19% dinilai Bhima justru mendorong Indonesia untuk membeli lebih banyak produk energi dari AS. Sayangnya, impor tersebut akan memakan waktu dan biaya logistik yang lebih besar. “Dengan tarif ini, artinya Indonesia harus membeli lebih banyak lagi produk energi dari AS. Padahal biaya logistiknya lebih mahal dan waktunya lebih panjang,” tambah Bhima.
Ia juga menyoroti target swasembada energi yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto, yang dinilai kontradiktif dengan peningkatan impor energi dari luar negeri, khususnya AS. Impor yang lebih besar justru memperlebar defisit neraca migas, dan dalam jangka pendek akan meningkatkan tekanan terhadap nilai tukar Rupiah karena meningkatnya kebutuhan dolar AS. Ini punya implikasi ekonomi yang panjang.
Bhima menilai kebijakan impor energi fosil ini juga akan menghambat pencapaian target transisi energi nasional sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, serta melemahkan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di dalam negeri. Pelaku usaha EBT bisa saja melihat pemerintah tidak serius dalam transisi energi jika impor energi fosil terus dilakukan. “Kalau seperti ini, kapan kita akan benar-benar menjalankan agenda transisi energi?” ujarnya.
Ia juga membuka kemungkinan adanya perubahan pada target RUPTL apabila bauran energi nasional kembali didominasi oleh energi fosil. “Sulit untuk melakukan transisi energi kalau Indonesia sudah dipaksa untuk membeli produk-produk energi fosil dari AS,” tutupnya.