Selasa, Juli 22, 2025
BerandaTahukah AndaDewan Adat Dayak Kotim Menolak Transmigrasi Nasional di Kalteng, Khawatir Penggusuran Masyarakat...

Dewan Adat Dayak Kotim Menolak Transmigrasi Nasional di Kalteng, Khawatir Penggusuran Masyarakat Lokal

Penolakan Tokoh Adat terhadap Rencana Transmigrasi Nasional 2025–2029 di Kalimantan Tengah

Pemerintah pusat yang merancang program transmigrasi nasional untuk periode 2025–2029 mendapat penolakan dari tokoh adat di Kalimantan Tengah. Salah satu pihak yang menyampaikan penolakan adalah Ketua Harian Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Gahara. Ia menegaskan bahwa pihaknya tidak setuju jika Kotim menjadi lokasi tujuan program tersebut.

Menurut Gahara, program transmigrasi berpotensi memperparah kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Saat ini, banyak masyarakat Kotim masih hidup di bawah garis kemiskinan dan menghadapi keterbatasan akses terhadap lahan serta pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

“Kami menolak jika Kotim ini dijadikan daerah transmigrasi. Masih banyak masalah sosial di sini. Masyarakat lokal masih hidup jauh di bawah garis kemiskinan,” ujar Gahara saat dikonfirmasi.

Ia khawatir kehadiran transmigran dari luar daerah, terutama dari luar Kalimantan, akan menambah beban baru bagi masyarakat setempat. Selain itu, ia mengkhawatirkan ketimpangan dalam penguasaan sumber daya akan semakin tajam dan berpotensi memicu konflik horizontal.

“Kalau program ini dipaksakan, masyarakat adat dan petani lokal hanya akan jadi penonton di tanah sendiri,” tambahnya.

BACA JUGA :  Hadir Haul, Bukti Cinta Umat kepada Ulama

Gahara juga menyoroti pengalaman masa lalu tentang pelaksanaan transmigrasi yang telah meninggalkan berbagai permasalahan. Mulai dari penguasaan lahan yang tidak merata hingga kerusakan lingkungan. Ia menyayangkan kurangnya evaluasi mendalam sebelum merancang program baru ini.

“Sejak era 1970-an, program transmigrasi nasional sudah banyak menimbulkan persoalan. Tanah-tanah adat hilang, hutan rusak, masyarakat lokal kehilangan ruang hidupnya,” katanya.

Selain isu ekonomi, Gahara juga menyoroti dampak transmigrasi terhadap hak-hak politik dan budaya masyarakat Dayak. Ia khawatir masuknya warga baru dari luar daerah akan mengubah komposisi sosial dan menggeser identitas lokal secara perlahan.

“Ini seperti kolonisasi modern. Jangan sampai atas nama pembangunan, hak-hak masyarakat adat dikorbankan. Kami menolak model pembangunan yang tidak berpihak pada masyarakat lokal,” ujarnya.

Gahara mengingatkan bahwa Kalimantan bukanlah tanah kosong. Sejak jauh sebelum Indonesia merdeka, masyarakat Dayak sudah tinggal dan hidup dari hasil hutan dan alam di wilayah tersebut. Karena itu, ia menolak anggapan bahwa wilayah Kalimantan Tengah bisa dijadikan lokasi “kosong” untuk menampung gelombang transmigran.

BACA JUGA :  Aktivis Neni Nurhayati Diduga Jadi Korban Pencurian Akun Diskominfo Jabar

“Jangan anggap Kalimantan ini tidak berpenghuni. Kami sudah lama ada di sini, jauh sebelum republik ini berdiri,” ungkapnya.

Di sisi lain, Gahara menyesalkan masih minimnya perhatian negara terhadap kesejahteraan masyarakat adat. Ia menyebut banyak hasil kekayaan alam seperti hasil hutan, perkebunan, dan tambang yang dikirim ke pusat, sementara masyarakat lokal tidak menikmati hasilnya.

“Kami ini diakui secara hukum sebagai masyarakat adat, tapi faktanya hak kami tidak diurus. Lahan makin sempit, akses pendidikan dan kesehatan juga masih terbatas,” ujarnya.

Gahara berharap pemerintah lebih fokus pada pemberdayaan masyarakat lokal ketimbang membuka wilayah transmigrasi baru. Menurutnya, jika pemerintah memang ingin melakukan transmigrasi, sebaiknya diprioritaskan untuk masyarakat lokal Kalimantan yang belum memiliki lahan atau pekerjaan tetap.

“Kami bukan anti pembangunan. Tapi tolong, berikan ruang untuk masyarakat lokal berkembang dulu. Jangan kami dikorbankan lagi,” tutupnya.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
- Advertisment -
- Advertisment -

Most Popular